Seharian ini kuhabiskan
degan melamun di teras depan rumah pakde. Aku malas mencuci pakaian meski
keranjang pakaian kotor sudah dua gunungan. Aku berjalan di pekarangan belakang rumah sambil melihat-lihat sekelilingku. Ada banyak jenis tanaman disana, seperti pohon tomat, terong, kelapa muda, kedondong, mangga, naga
dan hampir semua bahan makanan untuk dimakan sehari-hari ada disini. “Besok aku
sudah tidak bisa menikmati air kelapa muda lagi” batinku. Kemudian aku berjalan
ke pekarangan milik nenek yang letaknya agak sedikit ke belakang dari rumah
pakde. Aku melihat ada segerombolan kambing, dua ekor kerbau, dan empat ekor
sapi merah yang sengaja dibiarkan lepas di hutan jati. Aku terus berjalan
menyusuri jalan kecil, hingga tak terasa 200 meter lagi aku akan sampai di
tempat sembahyang, pura. aku tidak sedang kacau hanya sedikit gusar dengan
pilihanku untuk pulang ke surabaya dengan segala permasalahan yang masih belum
kuterima. Rasanya aku masih ingin disini, merasa lebih tenang dengan jauh dari
keramaian dan belum siap dengan segala tetek
bengeknya di rumah orang tuaku. Aku bingung menentukan tanggal
kepulanganku, kalau mau jujur aku ingin terus memundurkan tanggal pulangku.
Travel sudah dipesan tapi kosong, pesan ke tempat lain kemudian cancel karena
letak tempat duduk yang kujadikan alasan tidak jadi berangkat pulang, tinggal
travel terakhir yang masih kutunggu konfirmasinya. Kalau aku tetap disini, aku
akan terus mengumbar janji untuk pulang sedangkan aku tidak mau menjadi pecundang yang terus membuat janji
tanpa menepati.
Hari sudah semakin sore,
kulihat wajah langit begitu pucat seperti aku yang sedang dehidrasi. Tidak ada
awan sama sekali. Aku baru menyadari bahwa aku sudah berjalan sangat jauh dari
rumah. Kupercepat langkahku sambil berharap awan muncul, namun sayangnya tidak
meski rasanya aku sudah berjalan ratusan meter lebih cepat, awan tetap tidak
muncul, awan yang biasa berjalan beriringan membentuk gumpalan kapas yang bergerombol, atau memanjang tak beraturan, bahkan kata anak-anak kecil yang
bermail bola di depan rumah awan bisa berbentuk wajah seperti monster yang
berarti tanda Tuhan sedang marah dan kita semua harus jadi anak baik di hari
itu, entah siapa yang memberi tahu mereka seperti itu. Aku berharap agar aku
bisa pulang tanpa tersesat saat hari makin gelap. Aku terus mempercepat
langkahku menyusuri jalanan kecil dipinggir hutan, mengejar terang agar bisa
segera sampai rumah sebelum hari mulai gelap.
Ternyata langit sore itu
adalah pertanda kematian kakak terkasih. Bersamaan dengan itu aku mendapat
konfirmasi dari pihak travel bahwa keberangkatan perjalanan ke surabaya ada di
tanggal 3 Januari 2021. Bagiku ini adalah awal tahun yang mengejutkan.
“Mas ... “
“Dalem ...“
“Aku pulang malam ini”
“Okay, ati-ati”
Jumat, 8 Januari 2021
Aku memarkir motorku di depan
kedai kopi Sang Esoen yang letaknya dekat dengan Perumahan Pondok Permata Suci
kota Gresik. Hari ini cuaca tidak sedang mendukung hujan turun terus menerus
dan banjir dimana-mana. Untung saja kedai tutup sampai malam, kalau tidak
pertemuanku dengannya akan mundur lagi. Sembari menunggunya yang masih dalam
perjalanan dari Kota Minyak aku memutuskan untuk masuk dan memesan minuman
terlebih dahulu. Saat pertama masuk aku sudah jatuh cinta dengan tempat ini.
Aku menyukai desain ruangannya yang memberi kesan vintage, kursinya mayoritas
berwarna coklat dengan menampilkan tekstur aslinya, selain itu ada banyak macam
tanaman hias yang lagi marak digemari tapi aku tidak tahu namanya apa,
berdasarkan info dari internet tanaman-tanaman seperti itu dibudidayakan
kemudian di ekspor ke luar negeri. Aku ingat tanaman yang paling aku suka,
letaknya diujung bawah tangga.
Setelah memesan makanan
aku memutukan untuk naik ke atas. Aku memilih duduk di tempat paling ujung,
karena aku akan lebih mudah mengetahui saat dia datang. Cukup lama juga aku
menunggunya kira-kira lebih dari satu jam. Aku melihat banyak laki-laki berlalu
lalang, ada yang bergerombol untuk berbincang sambil menyedot rokok, ada juga
yang duduk berdua antara perempuan dan laki-laki layaknya sepasang kekasih, ada
juga sekumpulan anak remaja perempuan yang mengambil gambar bersama. Tempat ini
menjadi gudang kebahagiaan karena begitu banyak tawa seperti harapanku kepada
laki-laki yang kutunggu hadirnya saat ini. Laki-laki yang kukenal di hujan
pertama bulan November tahun lalu, tepatnya tanggal dua puluh dua bulan November dua ribu dua puluh dia memintaku untuk menjadikan kita sepasang bukan lagi teman berbincang. Dia menyapaku melalui benda tiga dimensi yang bernama handphone, percakapan yang serasa hidup seperti dunia nyata sampai aku melemahkan logikaku sendiri, tidak rela untuk terus menerima realita bahwa yang di dunia maya tetaplah ada di dunia maya. Aku tidak rela kita terus berada dalam realitas semu dan akan kubuat nyata, segera.
Handphoneku bergetar, ada notification
pesan masuk darinya.
“kamu yang duduk di pojok kah ?”
“Ya mau yang mana lagi mas” balasku
sambil melakukan gerakan memutar mencari keberadaannya.
“okay”. Dia membalas pesannya lalu
menghampiriku
Awal pertemuan yang
biasa saja, tidak seindah kisah roman picisan. Dia bukan laki-laki yang pandai
menyenangkan hati dengan kata-kata mesra, juga bukan laki-laki yang suka
memberi kejutan. Dia menyukai hujan sedangkan aku tidak. Katanya suara air
hujan menenangkan dan bikin tidur makin pulas, bagiku hujan hanya memberikan
rasa takut dengan suara petirnya.
Teruntuk laki-laki yang
berda dihadapanku sekarang, selamat datang di kepalaku dan di kehidupanku
kedepan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana Tuhan membuat skenario, mengatur
cerita kita kelak. Apakah besok takdir menjadi milik kita atau sebaliknya.
“
Aku tadi pulang dulu ganti baju, makanya lama”. Dia berbicara sambil mencari
posisi wenak untuk duduk disebelahku
“oke
gapapa, jauh dari sini rumahnya ? ”
“Enggak
kok, deket sini. Kapan-kapan main ke rumah ya”
“
Iya, setelah dari rumahku ya mas”
Setelah pertemuan malam
itu, Sang Esoen kerap menjadi tempat favorit kita untuk bertemu. Dari yang
mulai sekedar mampir untuk santai, menemani dia membantu adeknya menjaga kedai,
kebetulan kedai kopi ini milik adeknya sendiri, hingga tempat bertemu untuk
urusan pekerjaan. Kita sempat dihadapkan dengan keadaan yang sulit, sama-sama
tidak memiliki pekerjaan, memulai usaha kecil-kecilan dengan berjualan baju,
dia yang mencari supplier memasarkan di marketplace dan aku yang berjualan
offline berkeliling komplek menawarkan ke teman-teman terdekat, melamar
pekerjaan bersama, diterima kerja di hari yang sama, bahkan pernah bekerja di
tempat yang sama. Aku menikmati perjalanan ini. Aku berpikir bagaimana aku
harus bertahan, membantunya bertahan dengan doa
yang diam-diam kupanjatkan di sepertiga malamku. Dia membuatku menaruh
harapan penuh bahwa kelak kita punya kisah yang lamanya lebih dari selamanya.
Hahaha ekspektasi macam apa ini, selain itu dia merubahku menjadi yang suka tidak
percaya menjadi menaruh rasa percaya, dari perempuan yang tidak mandiri menjadi
apa-apa ingin kukerjakan sendiri meski tetap saja dimatanya aku manja, dari
yang selalu memikirkan orang lain menjadi sedikit lebih mencintai diri sendiri.
Ada banyak sekali cerita
di sebelas bulan kebersamaan ini. Meski sebagian besarnya pertengkaran-pertengkaran
biasa. Aku yang sempat menyerah karna saking lelahnya merapikan hati sendirian
selepas pertengkaran, tidak mudah memahami isi kepalanya, aku selalu tidak bisa
tidur semalaman hingga kembali belajar, mencari celah agar selalu bisa
menikmati dengan memikirkan hal-hal menyenangkan. Namun kadang aku masih
sempat-sempatnya tertawa ditengah pertengkaran hebat, bukan maksutku menganggap
ini lelucon tapi aku sedikit heran saja dengan caranya menutupi kesalahan
dengan berbalik marah besar kepadaku. Adilkah kalau sudah begini ?
Pernah suatu kali kita
bertengkar melalui telepon. Aku lupa kita bertengkar karena apa, tapi yang
jelas aku marah dan dia juga marah. Berbeda pendapat dan saling menyalahkan itu
sudah pasti.
“Terus mau dibawa kemana hubungan
ini” kutanyakan kalimat ini saking putus asanya. Kutulis dengan huruf kapital
semua sebagai tanda aku benar-benar marah dan kode aku sedang berteriak. Aku
sudah lelah dengan pertengkaran yang berulang, rasanya hubungan ini seperti
sebuah arena untuk adu siapa yang paling kuat egonya.
“Bawa aja ke Irak” balasnya lima
belas menit kemudian. Seketika aku tertawa terpingkal-pingkal tidak peduli
semarah apapun dia. Kita tidak bicara semalaman, dia pun juga tidak memberi
kabar.
Tapi ada kalanya kita juga begitu
yakin, sangat meyakini kita sebagai sepasang suami istri.
“kamu ingin punya anak berapa ?
maunya laki-laki atau perempuan ?” tanyaku nyeleneh
“perempuan..”
“laki-laki sajalah mas” . Aku ingin
anak laki-laki sebagai anak pertama karena kelak ia akan mejaga aku dan
menggantikanmu.
“yang adil itu laki-laki dan
perempuan “ jawabnya kala itu seakan menghentikan perdebatan yang belum saatnya
diperdebatkan.
“oke kembar, biar sekalian aku
mbrojolnya” sahutku bercanda
“kamu lama-lama karepe dewe ”
Begitulah siklus hidup manusia,
selama masih mencintai akan selalu ada pertengkaran kemudian berbaikan kembali.
Aku sadar kita memang membutuhkan keras kepala untuk tetap bertahan saat salah
satu dari kita lelah dan ingin meninggalkan.
***
Minggu
31 Oktober 2021
Surabaya Barat sejak pagi tadi
gerimis, aku lihat awan juga masih gelap tidak ada tanda-tanda akan membelah
berganti warna sedikit cerah. Halah biarlah toh aku sudah bulat untuk berangkat
ke Gresik, entah rasanya saat itu juga aku harus berangkat ke Gresik. Perasaanku
berkata kalau tidak berangkat, akan terus ada rasa yang mengganjal.
Aku kembali melewati kedai kopi
favorit dan berpikir untuk mampir meski sekedar menikmati pukul 10 Pagi sambil
minum secangkir coklat hangat, menikmatinya pelan seakan tidak ada hari esok,
tidak mau buru-buru pulang. Namun duduk disini seperti ada perasaan yang aneh,
sejak pertama aku tidak mendapatkan senyum yang seperti biasanya, tidak ada
motor honda astrea yang biasa terpakir di depan kedai, tempat duduk favoritku
telah menjadi milik orang lain terpaksa aku mencari tempat lain, kursinya
kurang nyaman dan hanya tempat ini yang tersisa untuk aku yang datang sendiri.
Aku menatap layar handphoneku dengan
seksama, disana aku mendpatkan jawaban mengapa rasa tidak nyaman itu ada. “Kedai
Sang Esoen tutup permanen”
Tuhan selalu memberikan jawaban
meski datangnya lewat firasat terlebih dahulu, kemana ingin pergi ya disitulah
ada jawaban. Seperti takdir hari ini yang harus mulai berjalan tidak seperti
biasanya “Kita selesai sampai disini” yang terlontar lima belas menit yang lalu
tanpa aku mempersiapkan sebelumnya